Rabu, 14 Desember 2016

HIV AIDS



ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
DENGAN HIV/AIDS

D
I
S
U
S
U
N

Oleh:

Hotmian Purba
032014025

PROGRAM STUDI DI NERS TAHAP AKADEMIK
STIKes SANTA ELISABETH MEDAN
2015





BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Acquired immune deficiency syndrome adalah suatu kumpulan gejala penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh; bukan penyakit bawaan tetapi didapat dari hasil penularan yang disebabkan oleh human immunodefiency virus (HIV). Penyakit ini telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah pasien dan semakin melanda  banyak negara. Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau obat yang relatif efektif untuk AIDS sehingga menimbulkan  keresahan di dunia. (Widoyono, 2011)
            Sejarah tentang HIV/AIDS di mulai ketika tahun 1979 di amerika serikat di temukan seorang gay muda dengan pneumocystis carinii dan dua orang gay muda dengan sarcoma kaposi. Pada tahun 1981 ditemukan seorang  gay muda dengan kerusakan sistem kekebalan tubuh. Pada tahun 1980 WHO mengadakan pertemuan yang pertama tentang AIDS. Penelitian mengenai AIDS telah di laksanakan secara intensif, dan informasi mengenai AIDS sudah menyebar dan bertambah dengan cepat. Selain berdampak negatif pada bidang medis, AIDS juga berdampak negatif pada bidang  lainnya seperti  ekonomi, politik, etika, dan moral (Widoyono,2011).
Meskipun telah di capai berbagai kemajuan di bidang  kedokteran dan farmasi, serta telah dilakukan berbagai upaya pencegahan primer maupun sekunder, tetapi angka kesakitan dan kematiannya tetap tinggi. Menurut WHO, sehingga Desember 2000, di lapaorkan 58 juta jiwa penduduk dunia terinfeksi HIV, dalam kurun waktu tersebut 22 juta jiwa meniggal atau 7.000 HIV masih tetap saja berlangsung sehingga kini, 16.000 jiwa terinfeksi baru setiap harinya. (Nasronudin 2007).
Berbagai faktor ikut berpangaruh dalam peningkatan angka kesakitan dan kematian HIV & AIDS, yaitu faktor eksternal dan internal. Tidak tertutup kemungkinan tingginya tingkat keseriusan dan kematian penderita HIV/AIDS  juga akibat penatalaksanaan penderita yang optimal. Selama ini penatalaksanaan  hanya dikonsentrasi pada terapi umum dan terapi khusus dengan mengandalkan Antiretroviral Therapy (ART). Pengaruh radikal bebas dan proteksi mitokondria hingga kini belum mendapatkan perhatian secara serius. Padahal pada tubuh penderita HIV & AIDS terdapat peningkatan Reactive Oxygen Species ( ROS) yang potensial mendorong terjadinya progresitivitas ke arah tingkat penyakit yang lebih berat. (Nasronudin 2007).
Untuk itu selain pemberian ART dengan Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART), dukungan nutrisi berlandaskan konsep imunonutrien perlu di perhatikan di dalam penatalaksaan penderita HIV/AIDS. Penentuan stadium klinis WHO (2002) maupun klasifikasi CDC (1993) sangat penting untuk menjadi landasan pemberian Antiretroviral Therapy ( ART) (Nasronudin 2007).
Di indonesia HIV pertama kali dilaporkan di Bali pada April 1987 ( terjadi pada orang Belanda). Pada tahun 1999 terdapat 635 kasus HIV dan 183 kasus –baru AIDS . Mulai tahun 2000-2005 terjadi peningkatan kasus HIV dan AIDS secara signifikan di Indonesia. Kasus AIDS  tahun 2000 tercatat 255 orang, meningkat menjadi 316 orang pada tahun 2003, dan meningkat cepat menjadi 2638 orang pada tahun 2005. Dari data tersebut, DKI Jakarta memiliki jumlah penderita terbesar, di ikuti oleh Jawa Timur, Papua, Jawa Barat, dan Bali. Peningkatan ini terutama di sebabkan oleh semakin bertambahnya sarana pelayanan diagnostik kasus dengan klinik voluntary counselling and testing (VCT).
Di bandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia Tenggara, angka kasus HIV/AIDS di indonesia termasuk rendah. Alasan yang paling mungkin adalah lemahnya sistem pencatatan dan pelaporan, terbatasnya peralatan laboratorium penunjang, dan rendahnya kemampuan diagnosis (Widoyono,2011).

1.2.Tujuan
1.2.1.      Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan klien dengan HIV/AIDS
1.2.2.      Tujuan Khusus
1.      Mahasiswa mampu memahami konsep dasar medik asuhan keperawatan HIV/AIDS
2.      Mahasiswa mampu memahami konsep dasar keperawatan asuhan keperawatan HIV/AIDS

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.2. Konsep Medis
2.2.1. Defenisi
Acquired immune deficiency syndrome adalah suatu kumpulan gejala penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh; bukan penyakit bawaan tetapi didapat dari hasil penularan yang disebabkan oleh human immunodefiency virus (HIV) (Widoyono, 2011).         
2.2.2. Klasifikasi
Departemen kesehatan pada tahun 2007 menyatakan stadium klinis HIV bagi orang dewasa terbagi 4 kategori dan skala fungsional ,yaitu:
1.      Stadium klinis 1
a.       Asimtomatik
b.      Limfadenitis generalisata
Skala fungsional 1: Asimtomatik, Antivitas normal.
2.      Stadium klinis 2
a.       Berat badan berkurang  <10%
b.      Manifestasi mukokutaneus ringan
c.       Herpes zoster dalam lima tahun terakhir
d.      Infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang
Skala fungsiona 2: Asimtomatik, Antivitas normal.
3.      Stadium klinis 3
a.       Berat badan berkurang  <10%
b.      Diare kroonis tanpa penyebab yang jelas >1 bulan
c.       Demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas >1 bulan
d.      Kondidiasi oral (thrush)
e.       Oral hairy leucoplakia (OHL)
f.       TB Paru
g.      Infeksi bakterial  berat
Skala fungsiona 3: <50 %dalam 1 bulan terakhir berbaring.
4.      Stadium klinis 4 (Kriteria WHO: Klinis AIDS)
a.       HIV wasting syndrome
b.      Pneumonia pleumocystic carinii
c.       Toxoplasmosis otak
d.      Diare karena kriptosporidiosis <1 bulan
e.       Kritokokosis ekstraparu
f.       Penyakit sitomegalovirus pada satu organ selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
g.      Infeksi virus herpes simplex di mukokutaneus <1 bulan
h.      Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
i.        Mikosis endemik yang menyebar
j.        Kondisiasis esophagus, trakea, bronki
k.      Mikobakteriosis atipik
l.        Septikemia salmonela non-tipoid
m.    Tuberkolosis ekstraparu
n.      Limfoma
o.      Sarkoma 
p.      Ensefalopati HIV
Skala fungsional 3: <50 %dalam 1 bulan terakhir berbaring. (Widoyono, 2011)
2.2.3. Etiologi
              HIV  yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam lentivirus sitopolik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh dunia.
             Pada tahun 1983, ilmuwan perancis montagnier(institute Pasteur, paris) mengisolasi virus dari pasien dengan gejala limfadenopati dan menemukan virus HIV. Oleh sebab itu virus disebut dinamakan lymphadenopathy associated virus (LAV). Pada tahun 1984 Gallo(National Institute of Health, USA) menemukan virus human T lymphotropic virus (HTLV-III)  yang juga menyebabkan AIDS.
                        Pada  tahun 1986 di afrika ditemukan beberapa - HIV, yaitu HIV-1 yang sering menyerang manusia dan HIV-2 yang di temukan di Afrika Barat. Virus HVI termasuk subfamily lentivirinae dari famili Retroviridae.
            Asam nukleat dari famili retrovirus adalah RNA yang mampu membantuk DNA dan RNA. Enzim transcriptase reversi menggunakan RNA virus sebagai cetakan untuk membantuk DNA. DNA ini bergabung pada kromosom induk (sel limfosit T4 sel mikrofag) yang berfungsi sebagai penggoda virus HIV.
            Secara sederhana sel HIV terdiri dari :
1.      Inti-RNA dan enzim transkriptase reversi (polimerase), protease, dan integrase.
2.      Kapsid-antigen p24.
3.      Sampul (antigen p17) dan tonjolan glikoprotein (gp120 dan gp14).
 Waktu paruh virus (virion half-life) berlangsung cepat. Sebagai besar virus akan mati, tetapi karena mulai infeksi, replikasi virus berjalan sangat cepat dan terus-menerus. Dalam sehari sekitar 10 miliar virus dapat diproduksi. Replikasi inilah yang menyebabkan kerusakan system kekebalan tebuh. Tingginya jumlah virus dalam darah ditunjukkan dengan angka viral load, sedangkan tinggat kerusakan sustem kekebalan tubuh ditunjukkan dengan angka CD4. (Widoyono, 2011)
2.2.4. Patofisiologi
            HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara vertikal, horizontal dan transeksual seperti hubungan heteroseksual, pemakaian obat bius intravena, darah dan produk darah. Jadi, HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai benda tajam, yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak seperti yang terjedi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama HIV dapat dideteksi di dalam darah (Nasronudin, 2007).
            HIV tergolong  kedalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus yang menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiribonukleat (DNA). Tombol (knob) yang menonjol lewat dinding virus terdiri atas protein gp120 yang terkait pada protein gp41. Bagian yang secara selektif berikatan dengan sel-sel CD4-positif (CD4+) adalah gp120 dari HIV (Smeltzer & Bare, 2001).
Sel-sel CD4+ mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper, limfosit T4 helper ini merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel diatas. Sesudah terikat dengan terikat dengan membran sel T4 helper, HIV akan menginjeksi dua utas benang RNA yang identik kedalam sel T4 helper. Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase,HIV akan melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. (Smeltzer & Bare, 2001)
Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi diaktifkan. Aktivitas sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen, sitokin atau produk gen virus. Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan, replikasi serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru dibentuk ini kemudian dilepas kedalam plasma darah dan menginfeksi selsel CD4+ lainnya (Smeltzer & Bare, 2001).
Infeksi monosit dan makrofag tampaknya berlangsung secara persisten dan tidak mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel ini menjadi reservoir bagi HIV sehingga virusersebut dapat tersembunyi dari sistem imun dan terangkut keseluruh tubuh lewat sistem ini untuk menginfeksi pelbagai jaringan tubuh. Sebagian besar jaringan ini dapat mengandung molekul sel CD4+ atau memiliki kemampuan untuk meproduksinya. Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa sesudah indeksi inisial, kurang-lebih 25% dari sel-sel kelenjar limfe akan terinfeksi HIV pula. Replikasi virus akan berlangsung terus sepanjang perjalanan infeksi HIV; tempat primernya adalah jaringan limfoid. Ketika sistem imun terstimulasi, replikasi virus akan terjadi dan virus tersebut menyebar ke plasma darah yang mengakibatkan infeksi berikutnya pada sel-sel CD4+ yang lain. Kalau fungsi limfosit T4 terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius. Infeksi dan malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imundinamakan infeksi oprtunistik. (Smeltzer & Bare, 2001)
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan ,demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dll. Pada fase ini disebut dengan imunodefisiensi, dalam serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan adanya faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel T. Adanya supresif pada proliferasi sel T tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin. Sehingga sel T tidak mampu memberikan respon terhadap mitogen, terjadi disfungsi imun yang ditandai dengan penurunan kadar CD4+, sitokin; antibodi down regulation; TNF antinef (Nursalam, 2009)
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV membelah lebih cepat. Selain itu, dapat mengakibatkan reaaktivitas virus di dalam limfosit sehingga perjalanan penyakit bisa lebih progresif (Nursalam, 2009)















2.2.6. Manifestasi Klinis
Menurut Nasronudin (2007), manifestasi gejala dan tanda dari HIV dibagi menjadi 4 tahap:
1.      Fase pertama
Merupakan tahap infeksi akut muncul gejala tetapi tidak spesifik tetapi muncul 6 minggu pertama setelah paparan HIV dapat berupa demam, rasa letih, nyeri otot dan sendi, nyeri telan, dan pembesaran getah bening dan juga disertai meningitis aseptic yang di tandai demam, nyeri kepala hebat, kejang kjang dan kelumpuhan saraf otak.

2.      Fase kedua.
Merupakan tahap asimtomatis, Pada tahap ini gejala dan keluhan hilang , berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahun setelah infeksi, terjadi internalisasi HIV ke intraseluler. Pada tahap ini aktivitas penderita normal.

3.      Fase ketiga
Merupakan tahap simtomatis . Pada tahap ini gejala dan keluhan lebih spesifik dengan gradasi sedang sampai berat yang di tandai dengan berat badan menurun tetapi tidak sampai 10 % , pada selaput mulut terjadi sariawan berulang, terjadi peradangan pada sudut mulut , infeksi bakteri pada saluran nafas atas . penderita lebih banyak berada di tempat tidur meskipun kurang 12 jam / hari.
4.      Fase keempat
Merupakan tahap yang lebih lanjut pada AIDS di tandai dengan, penurunan berat  badan lebih dari 10%, diare yang lebih dari satu bulan, panas yang tidak di ketahui sebabnya lebih dari satu bulan , kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, tuberculosis paru dan pneumonia bakteri. Penderita di serbu bermacam infeksi sekunder misalnya pneumonia pneumokistik karinii, toksoplasmosis otak, diare akibat kriptosporidiosis, penyakit virus sitomegalo infeksi virus herves, kandidisiasis pada esophagus, trakea, bronkus, serta infeksi jamur yang lain yaitu, histoplasmosis, kogsidiodomikosis.

Manifestasi klinis HIV/AIDS  menurut Smeltzer & Bare (2001) adalah sebagai berikut:
1.      Respiratorius
-          Pneumonia Pneumocytis carinii yaitu gejala napas pendek, sesak napas (dispnea), batuk-batuk, nyeri dada, dan demam.
-          Mycobacterium avium suatu kelompok basil tahan asam yang menyebabkan infeksi pernapasan kendati juga sering dijumpai dalam traktus gastrointestinal, nodus limfatikus dan sumsum tulang.
2.      Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal penyakit AIDS mencakup hilangnya selera makan, mual, vomitus, kandidiasis oral serta esofagus dan diare kronis.
-          Kandidiasis oral ditandai dengan bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut dengan keluhan sulit menelan, nyeri retrosternal dan lesi oral yang mengalami ulserasi .
-          Sindrom pelisutan (wasting syndrome) yaitu penurunan berat badan melampaui 10% dari berat badan dasar, diare yang kronis, dan demam kambuhan atau menetap.
3.      Neurologik
-          Ensefalopati HIV ditandai dengan penurunan progresif pada fungsi kognitif, perilaku dan motorik seperti gangguan daya ingat, sakit kepala, sulit berkonsentrasi, konfusi progresif, kelambatan psikomotorik, apatis dan ataksia
-          Cryptococcus neoformans yaitu meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala sperti  demam, sakit kepala, keadaan tidak enak badan (malaise), kaku kuduk, mual, vomitus perubahan status mentak dan kejang- kejang.
-          Leukoenfalopati Multifokal Progresiva (PML) dengan gejala kebutaan, afasia, paresis, serta kematian
-          Neuropati perifer merupakan kelainan dengan mielinisasi disertai rasa nyeri pada ektremitas, kelemahan, penurunan refleks tendon yang dalam, hipotensi ortostatik dan impotensi
4.      Integumen
Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes simpleks yang disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak integritas kulit.. Dermatitis seboreika disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah. Penderita AIDS memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang dserati dermatitis atopik seperti ekzema atau psoriasis.

2.2.7. Komplikasi
Komplikasi primer : MCMD (Minor Cognitive Motor Disorder), Neurobiologi (meningitis, mylopati, neuropati), Infeksi (toxoplasmosis, ensefalitis, cytomegalovirus/CMV), Leukoencepalopati multifoksl progresif (neoplasma dan delirium) (Mansjoer , 2000)

2.2.8. Prognosis
            Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal, sekitar 75% pasien yang didiagnosis AIDS meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis. (Widoyono, 2011)

2.2.9. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan esensial :
1.      Serologi HIV
2.      hitung limfosit CD4 + atau hitung limfosit total
3.      pemeriksaan darah lengkap dan profil kimia klinis
4.       test kehamilan atau dugaan
5.      HIV-RNA viral load
(Nasronudin, 2007)
Pemeriksaan tambahan atas indikasi:
1.      Foto thoraks
2.      urine untuk pemeriksaan rutin dan mikrokopis
3.      pemeriksaan serologis hepatitis virus B dan C
4.      toksoplasmosis, infeksi virus sitomegalo
5.      histoplasmosis, kandidiasis, kriptokokus
(Nasronudin, 2007)
Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi :
1.      ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay )
2.      Western blot
3.      PCR ( Polymerase Chain Reaction )
(Widoyono, 2011)
2.2.10. Penatalaksanaan
a)      Penatalaksanaan Umum
Istirahat cukup guna meminimalkan kondisi hipermetabolik dan hiperkatabolik. Dukungan nutrisi berbasis mikro dan makronutrien harus optimal untuk menghindari munculnya sindrom wasting. Konseling yang memadai merupakan formulasi dukungan psikobiologis dan psikososial terhadap penderita HIV/AIDS (Nasronudin, 2007).
b)      Penatalaksanaan Khusus
Karena kausanya virus, maka pemberian antiretroviral theraphy (ART) perlu diberikan secara kombinasi. Terhadap infeksi sekunder dan malignansi, terapi disesuaikan dengan manifestasinya (Nasronudin, 2007)
Strategi Pelaksanaan menurut Nasronudin (2007):
1.      Terapi antiretroviral
2.      Terapi infeksi sekunder atau infeksi oportunistik serta malignansi
3.      Dukungan nutrisi berbasis makronutrient dan mikronutrient
4.      Konseling terhadap penderita dan keluarga
5.      Membudayakan pola hidup sehat dan senam

2.2. Konsep Keperawatan
2.2.1. Pengkajian
·         Status nutrisi dinilai dengan menanyakan riwayat diet dan mengenali faktor-faktor yang dapat mengganggu asupan oral seperti anoreksia, mual, vomitus, nyeri oral atau kesulitan menelan. Penimbangan berat badan, pengukuran antropometri, pemeriksaan kadar BUN (blood urea nitrogen), protein serum, albumin dan transferin akan memberikan parameter status nutrisi yang obkjektif
·         Kulit dan membran mukosa diinspeksi setiap hari untuk menemukan tanda-tanda lesi, ulserasi atau infeksi. Rongga mulut diperiksa untuk memantau gejala kemerahan, ulserasi dan adanya bercak-bercak putih sperti krim yang menunjukkan kandidiasis.
·         Status respiratorius dinilai lewat pemantauan pasien untuk mendeteksi gejala batuk, produksi sputum, napas pendek, ortopnea, takipnea, dan nyeri dada. Keberadaan suara pernapasan dan sifatnya juga harus diperiksa.
·         Status neurologis ditentukan dengan menilai tingkat kesadaran pasien, orientasinya terhadap orang, tempat serta waktu dan ingatan yang hilang. Paien juga dinilai untuk mendeteksi gangguan sensorik dan motorik
·         Status cairan dan elektrolit dinilai dengan memriksa turgor kulit, peningkatan rasa haus, penurunan haluaran urin, tekanan darah rendah, denyut nadi yang lemah serta cepat dan berat jenis urin 1,025 atau lebih, menunjukkan dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit mencakup kedutan otot, kram otot, denyut nadi tidak teratur, mual, serta vomitus dan pernapasan yang dangkal.
·         Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya dan cara-cara penularan penyakit harus dievaluasi. Reaksi psikologis pasien terhadap diagnosis penyakit AIDS merupakan informasi penting yang harus digali. Pemahaman tentang cara pasien menghadapi sakitnya dan riwayat stres utama yang pernah dialami sebelumnya kerapkali bermanfaat. (Smeltzer & Bare, 2001)
2.2.2. Diagnosa Keperawatan
1.      Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas b.d. mukus berlebihan
2.      Hipertermia.b.d. proses penyakit
3.      Nyeri kronis b.d. gangguan imun
4.      Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh b.d. faktor biologis
5.      Diare b.d. inflamasi gastrointestinal
6.      Kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan aktif
7.      Kerusakan integritas kulit b.d. imunodefisiensi
8.      Konfusi akut b.d. cedera otak (penyakit neurologis)
2.2.3. Intervensi Keperawatan
NO
Tujuan
Intervensi
1
NOC:Respiratory Status: Airway Patency
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, bersihan jalan napas dapat efektif dengan kriteria hasil:
-          Frekuensi pernapasan
-          Irama pernapasan
-          Kedalaman inspirasi
-          Kemampuan membersihkan sekret
NIC: Airway Management
1.      Auskultasi suara nafas, catat daerah yang terjadi penurunan atau tidak adanya ventilasi
2.      Identifikasi apakah klien membutuhkan insertion airway
3.      Bebaskan jalan napas
4.      Instrukskan pasien untuk batuk efektif
5.      Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
6.      Lakukan pengeluaran sekret dengan batuk dan menggunakan suction
7.      Atur posisi untuk mengurangi dispnea
8.      Lakukan fisoterapi dada jika perlu
9.      Kolaborasi pemberian bronkodilator sesuai dengan instruksi dokter
10.  Kolaborasi pemberian O2 sesuai kebutuhan pasien
2
NOC: Thermoregulation
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam, diharapkan suhu tubuh normal dengan kriteria hasil:
-          Frekuensi pernapasan
-          Melaporkan kenyamanan suhu
-          Suhu tubuh menurun
NIC: Temperature Regulation
1.      Pantau tanda-tanda vital
2.      Pantau suhu minimal setiap dua jam
3.      Pantau warna kulit dan suhu kulit
4.      Berikan kompres pada pasien
5.      Berikan lingkungan yang mendukung keadaan pasien
6.      Anjurkan klien banyak minum 2-3 liter/hari
7.      Anjurkan klien memakai pakaian yang tipis dan menyerap keringat
8.      Ajarkan klien atau keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan mnegenali secara dini hipertermia
9.      Kolaborasi pemberian cairan IV
10.  Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antipiretik
3
NOC: Pain: Disruptive effects
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24jam nyeri kronis dapat teratasi dengan kriteria hasil:
-          Ketidaknyamanan berkurang
-          Tidak ada gangguan konsentrasi
-          Tidak ada gangguan tidur
-          Tidak ada gangguan aktivitas fisik
NIC: Pain Management
1.      Lakukan pengkajian nyeri meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensital dari nyeri dan faktor pemicu
2.      Ekplorasi pasien tentang faktor yang memperparah nyeri
3.      Menentukan dampak dari pengalaman nyeri dengan kualitas hidup (mis. tidur, selera makan, aktivitas, hubungan)
4.      Kaji dampak agama, budaya kepercayaan dan lingkungan terhadap nyeri dan respons pasien
5.      Ajarkan teknik nonfarmakologi (relaksasi, distraksi, hipnosis)
6.      Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika rasa nyeri tetap ada
7.      Tingkatkan istirahat dan tidur yang adekuat
8.      Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, seberapa lama akan berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan
9.      Kolaborasi dengan dokter pemberian analagesik
10.  Kolaborasi dengan pasien atau tenaga kesehatan lainnyauntuk menentukan implementasi nonfarmakologikal
4
NOC: Nutritional Status
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24jam, kekurangan nutrisi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
-          Intake nutrisi
-          Intake makanan
-          Intake cairan
-          Peningkatan berat badan
NIC: Nutrition Management
1.      Kaji pola makan klien
2.      Kaji adanya alergi makanan
3.      Kaji makanan yang disukai klien
4.      Monitor bb setiap hari
5.      Monitor adanya mual muntah
6.      Monitor intake nutrisidan kalori
7.      Yakinkan diet yang dikonsumsi mengandung cukup serat
8.      Anjurkan klien untuk meningkatkan asupan nutrisinya
9.      Kolaborasi dengan ahli gizi untuk penyediaan nutrisi sesuai kebutuhan klien
10.  Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan IV
5
NOC: Bowel Elimination
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x 24 jam, diare dapat teratasi dengan kriteria hasil:
-          BAB terkontrol
-          Diare berkurang
-          Feses lunak dan terbentuk
-          Nyeri perut tidak ada
NIC: Diarrhea Management
1.      Identifikasi faktor yang menyebabkan diare
2.      Evaluasi jenis intake makanan
3.      Evaluasi pengobatan yang berefek samping gastrointestianl
4.      Monitor kulit perianal terhadap adanya iritasi dan ulserasi
5.      Monitor turgor kulit, mukosa oral sebagai indikator dehidrasi
6.      Ajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare
7.      Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat warna, volume frekuensi dan konsistensi feses
8.      Kolaborasikan dengan dokter jika tanda dan gejala diare menetap
9.      Monitor hasil lab (elektrolit dan leukosit)
10.  Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang tepat
6
NOC: Fluid Balance
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, kekurangan cairan dapat teratasi dengan kriteria hasil:
-          Tekanan darah
-          Keseimbangan intake output 24 jam
-          Kestabilan berat badan
NIC: Fluid Management
1.      Kaji status hidrasi (membran mukosa yang adekuat
2.      Kaji indikasi kekurangan cairan
3.      Kaji status nutrisi
4.      Kaji intake dan output
5.      Kaji lokasidan luas edema
6.      Monitor tanda-tanda vital
7.      Timbang bb per hari
8.      Pertahankan intake dan output yang akurat
9.      Kolaborasi pemberian cairan intravena
10.  Kolaborasi pemberian diuretik
7
NOC: Tissue Integrity: Skin & Mucous Membranes
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, kerusakan integritas kulit dapat teratasi dengan kriteria hasil:
-          Integritas kulit
-          Lesi kulit berkurang
-          Tekstur kulit
-          Hidrasi kulit
NIC: Wound Care
1.      Pantau kulit dan adanya ruam dan lecet, warna, suhu, kelembapan, dan kekeringan yang berlebihan, area kemerahan dan rusak
2.      Mengukur dasar luka yang ada
3.      Lakukan perawatan luka
4.      Bersihkan luka dengan menggunakan normal saline
5.      Mengoleskan salep pada luka di kulit sesuai instruksi dokter
6.      Bandingkan secara teratut perubahan luka pada kulit
7.      Ganti posisi setiap 1-2 jam secara teratur
8.      Gunakan teknik yanng benar dalam mengubah posisi dengan memiringkan pasien
9.      Ajarkan keluarga pasien tentang pentingnya perawatan luka
10.  Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian salep atau obat oles pada luka pasien
8
NOC: Cognition
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24jam diharapkan konfusi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
-          Komunikasi jelas
-          Konsentrasi
-          Daya ingat
NIC: Cognitive stimulation
1.      Identifikasi penyebab kekurangan kognitif
2.      Sediakan stimulasi sensori yang berencana
3.      Berbicara dengan pasien
4.      Orientasikan waktu tempat dan orang
5.      Stimulasi memori dengan mengulang ekspresi pasien sebelumnya
6.      Sediakan penggunaan program multistimulasi (terapi musik, aktivitas kreatif, latihan)
7.      Gunakan pengingat seperti ceklis, jadwal, dan alarm pengingat
8.      Tawarkan stimulasi lingkungan dengan berkomunikasi dengan orang lain
9.      Berikan waktu istirahat
10.  Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian program medis











DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria M. 2013. Nursing Intervention Classification. United States of America: Elsevier.
Herdman, T.H. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.
Moorhead, Sue. 2013. Nursing Outcomes Classification. United States of America: Elsevier
Nasronudin. 2007. HIV/AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial. Surabaya: Airlangga University Press
Smeltzer, Suzzane C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga










                                             


Tidak ada komentar:

Posting Komentar