ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN
DENGAN
HIV/AIDS
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Hotmian Purba
032014025
032014025
PROGRAM STUDI DI NERS TAHAP AKADEMIK
STIKes SANTA ELISABETH MEDAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Acquired immune
deficiency syndrome adalah suatu kumpulan gejala penyakit
kerusakan sistem kekebalan tubuh; bukan penyakit bawaan tetapi didapat dari
hasil penularan yang disebabkan oleh human
immunodefiency virus (HIV). Penyakit ini telah menjadi masalah
internasional karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan
jumlah pasien dan semakin melanda banyak
negara. Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau obat yang relatif efektif
untuk AIDS sehingga menimbulkan
keresahan di dunia. (Widoyono, 2011)
Sejarah
tentang HIV/AIDS di mulai ketika tahun 1979 di amerika serikat di temukan
seorang gay muda dengan pneumocystis carinii dan dua orang gay muda dengan
sarcoma kaposi. Pada tahun 1981 ditemukan seorang gay muda dengan kerusakan sistem kekebalan
tubuh. Pada tahun 1980 WHO mengadakan pertemuan yang pertama tentang AIDS.
Penelitian mengenai AIDS telah di laksanakan secara intensif, dan informasi
mengenai AIDS sudah menyebar dan bertambah dengan cepat. Selain berdampak
negatif pada bidang medis, AIDS juga berdampak negatif pada bidang lainnya seperti ekonomi, politik, etika, dan moral
(Widoyono,2011).
Meskipun
telah di capai berbagai kemajuan di bidang
kedokteran dan farmasi, serta telah dilakukan berbagai upaya pencegahan
primer maupun sekunder, tetapi angka kesakitan dan kematiannya tetap tinggi.
Menurut WHO, sehingga Desember 2000, di lapaorkan 58 juta jiwa penduduk dunia
terinfeksi HIV, dalam kurun waktu tersebut 22 juta jiwa meniggal atau 7.000 HIV
masih tetap saja berlangsung sehingga kini, 16.000 jiwa terinfeksi baru setiap
harinya. (Nasronudin 2007).
Berbagai
faktor ikut berpangaruh dalam peningkatan angka kesakitan dan kematian HIV
& AIDS, yaitu faktor eksternal dan internal. Tidak tertutup kemungkinan
tingginya tingkat keseriusan dan kematian penderita HIV/AIDS juga akibat penatalaksanaan penderita yang
optimal. Selama ini penatalaksanaan
hanya dikonsentrasi pada terapi umum dan terapi khusus dengan
mengandalkan Antiretroviral Therapy (ART). Pengaruh radikal bebas dan proteksi
mitokondria hingga kini belum mendapatkan perhatian secara serius. Padahal pada
tubuh penderita HIV & AIDS terdapat peningkatan Reactive Oxygen Species (
ROS) yang potensial mendorong terjadinya progresitivitas ke arah tingkat
penyakit yang lebih berat. (Nasronudin 2007).
Untuk
itu selain pemberian ART dengan Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART),
dukungan nutrisi berlandaskan konsep imunonutrien perlu di perhatikan di dalam
penatalaksaan penderita HIV/AIDS. Penentuan stadium klinis WHO (2002) maupun
klasifikasi CDC (1993) sangat penting untuk menjadi landasan pemberian
Antiretroviral Therapy ( ART) (Nasronudin 2007).
Di
indonesia HIV pertama kali dilaporkan di Bali pada April 1987 ( terjadi pada
orang Belanda). Pada tahun 1999 terdapat 635 kasus HIV dan 183 kasus –baru AIDS
. Mulai tahun 2000-2005 terjadi peningkatan kasus HIV dan AIDS secara
signifikan di Indonesia. Kasus AIDS
tahun 2000 tercatat 255 orang, meningkat menjadi 316 orang pada tahun
2003, dan meningkat cepat menjadi 2638 orang pada tahun 2005. Dari data
tersebut, DKI Jakarta memiliki jumlah penderita terbesar, di ikuti oleh Jawa
Timur, Papua, Jawa Barat, dan Bali. Peningkatan ini terutama di sebabkan oleh
semakin bertambahnya sarana pelayanan diagnostik kasus dengan klinik voluntary
counselling and testing (VCT).
Di
bandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia Tenggara, angka kasus HIV/AIDS
di indonesia termasuk rendah. Alasan yang paling mungkin adalah lemahnya sistem
pencatatan dan pelaporan, terbatasnya peralatan laboratorium penunjang, dan
rendahnya kemampuan diagnosis (Widoyono,2011).
1.2.Tujuan
1.2.1.
Tujuan
Umum
Agar mahasiswa mampu memahami asuhan
keperawatan klien dengan HIV/AIDS
1.2.2.
Tujuan
Khusus
1. Mahasiswa
mampu memahami konsep dasar medik asuhan keperawatan HIV/AIDS
2. Mahasiswa
mampu memahami konsep dasar keperawatan asuhan keperawatan HIV/AIDS
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.2.
Konsep Medis
2.2.1.
Defenisi
Acquired immune
deficiency syndrome adalah suatu kumpulan gejala penyakit
kerusakan sistem kekebalan tubuh; bukan penyakit bawaan tetapi didapat dari
hasil penularan yang disebabkan oleh human
immunodefiency virus (HIV) (Widoyono, 2011).
2.2.2.
Klasifikasi
Departemen
kesehatan pada tahun 2007 menyatakan stadium klinis HIV bagi orang dewasa
terbagi 4 kategori dan skala fungsional ,yaitu:
1. Stadium
klinis 1
a. Asimtomatik
b. Limfadenitis
generalisata
Skala
fungsional 1: Asimtomatik, Antivitas normal.
2. Stadium
klinis 2
a. Berat
badan berkurang <10%
b. Manifestasi
mukokutaneus ringan
c. Herpes
zoster dalam lima tahun terakhir
d. Infeksi
saluran nafas bagian atas yang berulang
Skala
fungsiona 2: Asimtomatik, Antivitas normal.
3. Stadium
klinis 3
a. Berat
badan berkurang <10%
b. Diare
kroonis tanpa penyebab yang jelas >1 bulan
c. Demam
berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas >1 bulan
d. Kondidiasi
oral (thrush)
e. Oral
hairy leucoplakia (OHL)
f. TB
Paru
g. Infeksi
bakterial berat
Skala
fungsiona 3: <50 %dalam 1 bulan terakhir berbaring.
4. Stadium
klinis 4 (Kriteria WHO: Klinis AIDS)
a. HIV
wasting syndrome
b. Pneumonia
pleumocystic carinii
c. Toxoplasmosis
otak
d. Diare
karena kriptosporidiosis <1 bulan
e. Kritokokosis
ekstraparu
f. Penyakit
sitomegalovirus pada satu organ selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
g. Infeksi
virus herpes simplex di mukokutaneus <1 bulan
h. Progressive
multifocal leukoencephalopathy (PML)
i.
Mikosis endemik yang menyebar
j.
Kondisiasis esophagus, trakea, bronki
k. Mikobakteriosis
atipik
l.
Septikemia salmonela non-tipoid
m. Tuberkolosis
ekstraparu
n. Limfoma
o. Sarkoma
p. Ensefalopati
HIV
Skala
fungsional 3: <50 %dalam 1 bulan terakhir berbaring. (Widoyono, 2011)
2.2.3.
Etiologi
HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T
manusia tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu
retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus. Retrovirus mengubah asam
ribonukleatnya (RNA) menjadi asam lentivirus sitopolik, dengan HIV-1 menjadi
penyebab utama AIDS diseluruh dunia.
Pada tahun 1983, ilmuwan perancis
montagnier(institute Pasteur, paris) mengisolasi virus dari pasien dengan
gejala limfadenopati dan menemukan virus HIV. Oleh sebab itu virus disebut
dinamakan lymphadenopathy associated virus (LAV). Pada tahun 1984
Gallo(National Institute of Health, USA) menemukan virus human T lymphotropic
virus (HTLV-III) yang juga menyebabkan
AIDS.
Pada tahun 1986 di afrika ditemukan beberapa -
HIV, yaitu HIV-1 yang sering menyerang manusia dan HIV-2 yang di temukan di
Afrika Barat. Virus HVI termasuk subfamily lentivirinae dari famili
Retroviridae.
Asam nukleat dari famili retrovirus
adalah RNA yang mampu membantuk DNA dan RNA. Enzim transcriptase reversi
menggunakan RNA virus sebagai cetakan untuk membantuk DNA. DNA ini bergabung
pada kromosom induk (sel limfosit T4 sel mikrofag) yang berfungsi sebagai
penggoda virus HIV.
Secara sederhana sel HIV terdiri
dari :
1. Inti-RNA
dan enzim transkriptase reversi (polimerase), protease, dan integrase.
2. Kapsid-antigen
p24.
3. Sampul
(antigen p17) dan tonjolan glikoprotein (gp120 dan gp14).
Waktu paruh virus (virion half-life)
berlangsung cepat. Sebagai besar virus akan mati, tetapi karena mulai infeksi,
replikasi virus berjalan sangat cepat dan terus-menerus. Dalam sehari sekitar
10 miliar virus dapat diproduksi. Replikasi inilah yang menyebabkan kerusakan
system kekebalan tebuh. Tingginya jumlah virus dalam darah ditunjukkan dengan
angka viral load, sedangkan tinggat kerusakan sustem kekebalan tubuh
ditunjukkan dengan angka CD4. (Widoyono, 2011)
2.2.4. Patofisiologi
HIV masuk ke dalam tubuh manusia
melalui berbagai cara yaitu secara vertikal, horizontal dan transeksual seperti
hubungan heteroseksual, pemakaian obat bius intravena, darah dan produk darah.
Jadi, HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai
benda tajam, yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak
langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak seperti yang terjedi pada
kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari
sejak paparan pertama HIV dapat dideteksi di dalam darah (Nasronudin, 2007).
HIV tergolong kedalam kelompok virus yang dikenal sebagai
retrovirus yang menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya
dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiribonukleat (DNA).
Tombol (knob) yang menonjol lewat dinding virus terdiri atas protein gp120 yang
terkait pada protein gp41. Bagian yang secara selektif berikatan dengan sel-sel
CD4-positif (CD4+) adalah gp120 dari HIV (Smeltzer & Bare, 2001).
Sel-sel
CD4+ mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper, limfosit T4 helper ini
merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel diatas. Sesudah terikat
dengan terikat dengan membran sel T4 helper, HIV akan menginjeksi dua utas
benang RNA yang identik kedalam sel T4 helper. Dengan menggunakan enzim yang
dikenal sebagai reverse transcriptase,HIV
akan melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi
untuk membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke
dalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang
permanen. (Smeltzer & Bare, 2001)
Siklus
replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi diaktifkan.
Aktivitas sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen, sitokin
atau produk gen virus. Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi
diaktifkan, replikasi serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan
dihancurkan. HIV yang baru dibentuk ini kemudian dilepas kedalam plasma darah
dan menginfeksi selsel CD4+ lainnya (Smeltzer & Bare, 2001).
Infeksi
monosit dan makrofag tampaknya berlangsung secara persisten dan tidak
mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel ini menjadi reservoir
bagi HIV sehingga virusersebut dapat tersembunyi dari sistem imun dan terangkut
keseluruh tubuh lewat sistem ini untuk menginfeksi pelbagai jaringan tubuh.
Sebagian besar jaringan ini dapat mengandung molekul sel CD4+ atau memiliki
kemampuan untuk meproduksinya. Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa sesudah
indeksi inisial, kurang-lebih 25% dari sel-sel kelenjar limfe akan terinfeksi
HIV pula. Replikasi virus akan berlangsung terus sepanjang perjalanan infeksi
HIV; tempat primernya adalah jaringan limfoid. Ketika sistem imun terstimulasi,
replikasi virus akan terjadi dan virus tersebut menyebar ke plasma darah yang
mengakibatkan infeksi berikutnya pada sel-sel CD4+ yang lain. Kalau fungsi limfosit
T4 terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan
memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius.
Infeksi dan malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem
imundinamakan infeksi oprtunistik. (Smeltzer & Bare, 2001)
Seiring
dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat
infeksi oportunistik (penurunan berat badan ,demam lama, pembesaran kelenjar
getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dll. Pada fase ini
disebut dengan imunodefisiensi, dalam serum pasien yang terinfeksi HIV
ditemukan adanya faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel T.
Adanya supresif pada proliferasi sel T tersebut dapat menekan sintesis dan
sekresi limfokin. Sehingga sel T tidak mampu memberikan respon terhadap
mitogen, terjadi disfungsi imun yang ditandai dengan penurunan kadar CD4+,
sitokin; antibodi down regulation; TNF antinef (Nursalam, 2009)
Perjalanan
penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya penggunaan jarum suntik
berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi oleh kuman
lain akan membuat HIV membelah lebih cepat. Selain itu, dapat mengakibatkan
reaaktivitas virus di dalam limfosit sehingga perjalanan penyakit bisa lebih
progresif (Nursalam, 2009)
2.2.6. Manifestasi Klinis
Menurut
Nasronudin (2007), manifestasi gejala dan tanda dari HIV dibagi menjadi 4
tahap:
1. Fase
pertama
Merupakan tahap infeksi akut muncul gejala tetapi
tidak spesifik tetapi muncul 6 minggu pertama setelah paparan HIV dapat berupa
demam, rasa letih, nyeri otot dan sendi, nyeri telan, dan pembesaran getah
bening dan juga disertai meningitis aseptic yang di tandai demam, nyeri kepala
hebat, kejang kjang dan kelumpuhan saraf otak.
2. Fase
kedua.
Merupakan tahap asimtomatis, Pada tahap ini gejala
dan keluhan hilang , berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahun
setelah infeksi, terjadi internalisasi HIV ke intraseluler. Pada tahap ini
aktivitas penderita normal.
3. Fase
ketiga
Merupakan tahap simtomatis . Pada tahap ini gejala
dan keluhan lebih spesifik dengan gradasi sedang sampai berat yang di tandai
dengan berat badan menurun tetapi tidak sampai 10 % , pada selaput mulut
terjadi sariawan berulang, terjadi peradangan pada sudut mulut , infeksi
bakteri pada saluran nafas atas . penderita lebih banyak berada di tempat tidur
meskipun kurang 12 jam / hari.
4. Fase
keempat
Merupakan tahap yang lebih lanjut pada AIDS di
tandai dengan, penurunan berat badan
lebih dari 10%, diare yang lebih dari satu bulan, panas yang tidak di ketahui
sebabnya lebih dari satu bulan , kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia,
tuberculosis paru dan pneumonia bakteri. Penderita di serbu bermacam infeksi
sekunder misalnya pneumonia pneumokistik karinii, toksoplasmosis otak, diare
akibat kriptosporidiosis, penyakit virus sitomegalo infeksi virus herves,
kandidisiasis pada esophagus, trakea, bronkus, serta infeksi jamur yang lain
yaitu, histoplasmosis, kogsidiodomikosis.
Manifestasi klinis HIV/AIDS menurut Smeltzer & Bare (2001) adalah
sebagai berikut:
1.
Respiratorius
-
Pneumonia Pneumocytis carinii yaitu gejala napas pendek, sesak napas (dispnea),
batuk-batuk, nyeri dada, dan demam.
-
Mycobacterium avium suatu kelompok basil tahan asam yang menyebabkan infeksi pernapasan kendati
juga sering dijumpai dalam traktus gastrointestinal, nodus limfatikus dan
sumsum tulang.
2.
Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal penyakit AIDS mencakup
hilangnya selera makan, mual, vomitus, kandidiasis oral serta esofagus dan
diare kronis.
-
Kandidiasis oral
ditandai dengan bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut dengan
keluhan sulit menelan, nyeri retrosternal dan lesi oral yang mengalami ulserasi
.
-
Sindrom pelisutan (wasting syndrome) yaitu penurunan berat
badan melampaui 10% dari berat badan dasar, diare yang kronis, dan demam
kambuhan atau menetap.
3.
Neurologik
-
Ensefalopati HIV
ditandai dengan penurunan progresif pada fungsi kognitif, perilaku dan motorik
seperti gangguan daya ingat, sakit kepala, sulit berkonsentrasi, konfusi
progresif, kelambatan psikomotorik, apatis dan ataksia
-
Cryptococcus neoformans yaitu meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala
sperti demam, sakit kepala, keadaan
tidak enak badan (malaise), kaku kuduk, mual, vomitus perubahan status mentak
dan kejang- kejang.
-
Leukoenfalopati Multifokal Progresiva (PML) dengan gejala kebutaan, afasia, paresis, serta
kematian
-
Neuropati perifer
merupakan kelainan dengan mielinisasi disertai rasa nyeri pada ektremitas,
kelemahan, penurunan refleks tendon yang dalam, hipotensi ortostatik dan
impotensi
4.
Integumen
Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes
simpleks yang disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak
integritas kulit.. Dermatitis seboreika disertai ruam yang difus, bersisik
dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah. Penderita AIDS
memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang dserati dermatitis atopik seperti
ekzema atau psoriasis.
2.2.7. Komplikasi
Komplikasi primer : MCMD (Minor Cognitive Motor
Disorder), Neurobiologi (meningitis,
mylopati, neuropati), Infeksi
(toxoplasmosis, ensefalitis, cytomegalovirus/CMV), Leukoencepalopati
multifoksl progresif (neoplasma dan delirium) (Mansjoer , 2000)
2.2.8.
Prognosis
Sebagian
besar HIV/AIDS berakibat fatal, sekitar 75% pasien yang didiagnosis AIDS
meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien
terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis. (Widoyono, 2011)
2.2.9.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan esensial :
1.
Serologi HIV
2.
hitung limfosit CD4 + atau hitung
limfosit total
3.
pemeriksaan darah lengkap dan profil
kimia klinis
4.
test kehamilan atau dugaan
5.
HIV-RNA viral load
(Nasronudin,
2007)
Pemeriksaan tambahan
atas indikasi:
1.
Foto thoraks
2.
urine untuk pemeriksaan rutin dan
mikrokopis
3.
pemeriksaan serologis hepatitis virus B
dan C
4.
toksoplasmosis, infeksi virus sitomegalo
5.
histoplasmosis, kandidiasis, kriptokokus
(Nasronudin,
2007)
Metode yang umum untuk
menegakkan diagnosis HIV meliputi :
1.
ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay
)
2.
Western blot
3.
PCR ( Polymerase Chain Reaction )
(Widoyono,
2011)
2.2.10.
Penatalaksanaan
a)
Penatalaksanaan
Umum
Istirahat
cukup guna meminimalkan kondisi hipermetabolik dan hiperkatabolik. Dukungan
nutrisi berbasis mikro dan makronutrien harus optimal untuk menghindari munculnya
sindrom wasting. Konseling yang memadai merupakan formulasi dukungan
psikobiologis dan psikososial terhadap penderita HIV/AIDS (Nasronudin, 2007).
b) Penatalaksanaan
Khusus
Karena
kausanya virus, maka pemberian antiretroviral theraphy (ART) perlu diberikan
secara kombinasi. Terhadap infeksi sekunder dan malignansi, terapi disesuaikan
dengan manifestasinya (Nasronudin, 2007)
Strategi
Pelaksanaan menurut Nasronudin (2007):
1. Terapi
antiretroviral
2. Terapi
infeksi sekunder atau infeksi oportunistik serta malignansi
3. Dukungan
nutrisi berbasis makronutrient dan mikronutrient
4. Konseling
terhadap penderita dan keluarga
5. Membudayakan
pola hidup sehat dan senam
2.2. Konsep Keperawatan
2.2.1. Pengkajian
·
Status nutrisi dinilai dengan menanyakan
riwayat diet dan mengenali faktor-faktor yang dapat mengganggu asupan oral
seperti anoreksia, mual, vomitus, nyeri oral atau kesulitan menelan.
Penimbangan berat badan, pengukuran antropometri, pemeriksaan kadar BUN (blood
urea nitrogen), protein serum, albumin dan transferin akan memberikan parameter
status nutrisi yang obkjektif
·
Kulit dan membran mukosa diinspeksi
setiap hari untuk menemukan tanda-tanda lesi, ulserasi atau infeksi. Rongga
mulut diperiksa untuk memantau gejala kemerahan, ulserasi dan adanya
bercak-bercak putih sperti krim yang menunjukkan kandidiasis.
·
Status respiratorius dinilai lewat
pemantauan pasien untuk mendeteksi gejala batuk, produksi sputum, napas pendek,
ortopnea, takipnea, dan nyeri dada. Keberadaan suara pernapasan dan sifatnya
juga harus diperiksa.
·
Status neurologis ditentukan dengan
menilai tingkat kesadaran pasien, orientasinya terhadap orang, tempat serta
waktu dan ingatan yang hilang. Paien juga dinilai untuk mendeteksi gangguan
sensorik dan motorik
·
Status cairan dan elektrolit dinilai
dengan memriksa turgor kulit, peningkatan rasa haus, penurunan haluaran urin,
tekanan darah rendah, denyut nadi yang lemah serta cepat dan berat jenis urin
1,025 atau lebih, menunjukkan dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit
mencakup kedutan otot, kram otot, denyut nadi tidak teratur, mual, serta
vomitus dan pernapasan yang dangkal.
·
Tingkat pengetahuan pasien tentang
penyakitnya dan cara-cara penularan penyakit harus dievaluasi. Reaksi
psikologis pasien terhadap diagnosis penyakit AIDS merupakan informasi penting
yang harus digali. Pemahaman tentang cara pasien menghadapi sakitnya dan
riwayat stres utama yang pernah dialami sebelumnya kerapkali bermanfaat.
(Smeltzer & Bare, 2001)
2.2.2. Diagnosa Keperawatan
1.
Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas
b.d. mukus berlebihan
2.
Hipertermia.b.d. proses penyakit
3.
Nyeri kronis b.d. gangguan imun
4.
Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari
kebutuhan tubuh b.d. faktor biologis
5.
Diare b.d. inflamasi gastrointestinal
6.
Kekurangan volume cairan b.d. kehilangan
cairan aktif
7.
Kerusakan integritas kulit b.d.
imunodefisiensi
8.
Konfusi akut b.d. cedera otak (penyakit
neurologis)
2.2.3. Intervensi Keperawatan
NO
|
Tujuan
|
Intervensi
|
1
|
NOC:Respiratory Status: Airway Patency
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
3x24 jam, bersihan jalan napas dapat efektif dengan kriteria hasil:
-
Frekuensi pernapasan
-
Irama pernapasan
-
Kedalaman inspirasi
-
Kemampuan membersihkan sekret
|
NIC: Airway Management
1.
Auskultasi suara nafas, catat
daerah yang terjadi penurunan atau tidak adanya ventilasi
2. Identifikasi
apakah klien membutuhkan insertion
airway
3.
Bebaskan jalan napas
4.
Instrukskan pasien untuk batuk
efektif
5.
Posisikan klien untuk
memaksimalkan ventilasi
6.
Lakukan pengeluaran sekret dengan
batuk dan menggunakan suction
7.
Atur posisi untuk mengurangi dispnea
8.
Lakukan fisoterapi dada jika
perlu
9.
Kolaborasi pemberian
bronkodilator sesuai dengan instruksi dokter
10.
Kolaborasi pemberian O2
sesuai kebutuhan pasien
|
2
|
NOC: Thermoregulation
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
2x24 jam, diharapkan suhu tubuh normal dengan kriteria hasil:
-
Frekuensi pernapasan
-
Melaporkan kenyamanan suhu
-
Suhu tubuh menurun
|
NIC: Temperature Regulation
1.
Pantau tanda-tanda vital
2.
Pantau suhu minimal setiap dua
jam
3.
Pantau warna kulit dan suhu kulit
4.
Berikan kompres pada pasien
5.
Berikan lingkungan yang mendukung
keadaan pasien
6.
Anjurkan klien banyak minum 2-3
liter/hari
7.
Anjurkan klien memakai pakaian
yang tipis dan menyerap keringat
8.
Ajarkan klien atau keluarga dalam
mengukur suhu untuk mencegah dan mnegenali secara dini hipertermia
9.
Kolaborasi pemberian cairan IV
10.
Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat antipiretik
|
3
|
NOC: Pain: Disruptive effects
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
3x24jam nyeri kronis dapat teratasi dengan kriteria hasil:
-
Ketidaknyamanan berkurang
-
Tidak ada gangguan konsentrasi
-
Tidak ada gangguan tidur
-
Tidak ada gangguan aktivitas
fisik
|
NIC: Pain Management
1.
Lakukan pengkajian nyeri meliputi
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensital dari nyeri dan
faktor pemicu
2.
Ekplorasi pasien tentang faktor
yang memperparah nyeri
3.
Menentukan dampak dari pengalaman
nyeri dengan kualitas hidup (mis. tidur, selera makan, aktivitas, hubungan)
4.
Kaji dampak agama, budaya
kepercayaan dan lingkungan terhadap nyeri dan respons pasien
5.
Ajarkan teknik nonfarmakologi
(relaksasi, distraksi, hipnosis)
6.
Instruksikan pasien untuk
menginformasikan kepada perawat jika rasa nyeri tetap ada
7.
Tingkatkan istirahat dan tidur
yang adekuat
8.
Berikan informasi tentang nyeri,
seperti penyebab nyeri, seberapa lama akan berlangsung dan antisipasi
ketidaknyamanan
9.
Kolaborasi dengan dokter
pemberian analagesik
10.
Kolaborasi dengan pasien atau
tenaga kesehatan lainnyauntuk menentukan implementasi nonfarmakologikal
|
4
|
NOC: Nutritional Status
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
3x24jam, kekurangan nutrisi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
-
Intake nutrisi
-
Intake makanan
-
Intake cairan
-
Peningkatan berat badan
|
NIC: Nutrition Management
1.
Kaji pola makan klien
2.
Kaji adanya alergi makanan
3.
Kaji makanan yang disukai klien
4.
Monitor bb setiap hari
5.
Monitor adanya mual muntah
6.
Monitor intake nutrisidan kalori
7.
Yakinkan diet yang dikonsumsi
mengandung cukup serat
8.
Anjurkan klien untuk meningkatkan
asupan nutrisinya
9.
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
penyediaan nutrisi sesuai kebutuhan klien
10.
Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian cairan IV
|
5
|
NOC: Bowel Elimination
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
3x 24 jam, diare dapat teratasi dengan kriteria hasil:
-
BAB terkontrol
-
Diare berkurang
-
Feses lunak dan terbentuk
-
Nyeri perut tidak ada
|
NIC: Diarrhea Management
1.
Identifikasi faktor yang
menyebabkan diare
2.
Evaluasi jenis intake makanan
3.
Evaluasi pengobatan yang berefek
samping gastrointestianl
4.
Monitor kulit perianal terhadap
adanya iritasi dan ulserasi
5.
Monitor turgor kulit, mukosa oral
sebagai indikator dehidrasi
6.
Ajarkan pada keluarga penggunaan
obat anti diare
7.
Instruksikan pada pasien dan
keluarga untuk mencatat warna, volume frekuensi dan konsistensi feses
8.
Kolaborasikan dengan dokter jika
tanda dan gejala diare menetap
9.
Monitor hasil lab (elektrolit dan
leukosit)
10.
Kolaborasi dengan ahli gizi dalam
pemberian diet yang tepat
|
6
|
NOC: Fluid Balance
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
3x24 jam, kekurangan cairan dapat teratasi dengan kriteria hasil:
-
Tekanan darah
-
Keseimbangan intake output 24 jam
-
Kestabilan berat badan
|
NIC: Fluid Management
1.
Kaji status hidrasi (membran
mukosa yang adekuat
2.
Kaji indikasi kekurangan cairan
3.
Kaji status nutrisi
4.
Kaji intake dan output
5.
Kaji lokasidan luas edema
6.
Monitor tanda-tanda vital
7.
Timbang bb per hari
8.
Pertahankan intake dan output
yang akurat
9.
Kolaborasi pemberian cairan
intravena
10.
Kolaborasi pemberian diuretik
|
7
|
NOC: Tissue Integrity: Skin & Mucous Membranes
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
3x24 jam, kerusakan integritas kulit dapat teratasi dengan kriteria hasil:
-
Integritas kulit
-
Lesi kulit berkurang
-
Tekstur kulit
-
Hidrasi kulit
|
NIC: Wound Care
1.
Pantau kulit dan adanya ruam dan
lecet, warna, suhu, kelembapan, dan kekeringan yang berlebihan, area
kemerahan dan rusak
2.
Mengukur dasar luka yang ada
3.
Lakukan perawatan luka
4.
Bersihkan luka dengan menggunakan
normal saline
5.
Mengoleskan salep pada luka di
kulit sesuai instruksi dokter
6.
Bandingkan secara teratut
perubahan luka pada kulit
7.
Ganti posisi setiap 1-2 jam
secara teratur
8.
Gunakan teknik yanng benar dalam
mengubah posisi dengan memiringkan pasien
9.
Ajarkan keluarga pasien tentang
pentingnya perawatan luka
10.
Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian salep atau obat oles pada luka pasien
|
8
|
NOC: Cognition
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
3x24jam diharapkan konfusi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
-
Komunikasi jelas
-
Konsentrasi
-
Daya ingat
|
NIC: Cognitive stimulation
1.
Identifikasi penyebab kekurangan
kognitif
2.
Sediakan stimulasi sensori yang
berencana
3.
Berbicara dengan pasien
4.
Orientasikan waktu tempat dan
orang
5.
Stimulasi memori dengan mengulang
ekspresi pasien sebelumnya
6.
Sediakan penggunaan program
multistimulasi (terapi musik, aktivitas kreatif, latihan)
7.
Gunakan pengingat seperti ceklis,
jadwal, dan alarm pengingat
8.
Tawarkan stimulasi lingkungan
dengan berkomunikasi dengan orang lain
9.
Berikan waktu istirahat
10.
Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian program medis
|
DAFTAR
PUSTAKA
Bulechek,
Gloria M. 2013. Nursing Intervention
Classification. United States of America: Elsevier.
Herdman,
T.H. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses 2015-2017. Oxford: Wiley
Blackwell.
Moorhead,
Sue. 2013. Nursing Outcomes
Classification. United States of America: Elsevier
Nasronudin. 2007. HIV/AIDS Pendekatan Biologi
Molekuler, Klinis, dan Sosial. Surabaya: Airlangga University Press
Smeltzer,
Suzzane C. 2001. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Edisi 8. Jakarta: EGC.
Widoyono.
2011. Penyakit Tropis. Jakarta:
Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar